Presiden Ke-4 Republik Indonesia - Biografi Singkat KH. Abdurrahman Wahid
KH. Abdurrahman Wahid, atau yang biasa akrab dengan sebutan Gus Dur, 1 nama lengkapnya adalah Abdurrahan ad-Dakhil,2 (yang memiliki arti sang pendobrak), beliau adalah tokoh yang penuh kontroversial dan berdedikasi tinggi terhadap pembelaan pada kaum minoritas dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) pembela kaum minuritas. Namun yang tak kalah menarik dari pendiri Nahdlatul ulama? ini untuk kita pelajari adalah kemampuannya mengemas setiap pemikiran dan gagasan dalam situasi yang harmunis, dengan lontaran secara jenaka, santai dan banyak orang tergelitik, sebuah cirri khas yang menggambarkan kesederhanaan gaya hidup masyarakat kelas bawah dan pinggiran.Abdurrahman Wahid dilahirkan di Jombang, salah satu kabupaten di Jawa Timur, yang secara literatur jawa- Ilmu Ijo dan (Ian) abang. “ Ijo” berarti hijau dan “abang”memiliki arti merah, sebuah makna konotasi warna yang menunjukkan dua itentitas kultur masyarakat yang berlawanan. Hijau adalah simbol masyrakat priyai dengan kekuatan tradisi spritual dan sufistik, sedangkan abang, adalah syimbol untuk menunjukkan masyarakat abangan, yakni entitas cultural dan metodelogi pra Islam yang menjadi masyarakat pinggiran.
Latar belakang sosial dan kultur masyarakat Jombang yang beragam, tidak mengherankan kalau kemudian Kabupaten yang ada di Jawa Timur ini menjadi saksi bisu lahirnya sejumlah tokoh besar dalam diskursus pemikiran dan gerakan sosial ke agamaan di Indonesia yang komplek dan keunikan-nya, ada intlektual, negarawan, politisi, budayawan, dan di antaranya juga melahirkan Ulama?besar. Sebut saja KH. Hasyim Asy?ari (Pendiri NU), KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri (pendiri NU dan penggagas kebangkitan saudagar santri), KH. Abdul Wahid Hasyim ( Ayah Gus Dur) yang merupakan representasi tokoh pemuda Islam dalam tim panitia Sembilan pembahasan dan perumusan undang-undang dasar sekaligus menteri agama pertama repuplik Indonesia) Nurcholis Majid (tokoh pembaruan Islam), EMHA. Ainun Najdjib (budayawan dengan sebutan kiyai kanjeng) dan yang paling fenominal KH. Abdurrahman Wahid.
Lahir dan Dibesarkan di Perantren Abdurrahman wahid lahir pada tanggal 04 agustus 1940 di denanyar, Jombang jawa timur dan meninggal tanggal 30 Desember 2009. Beliau merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Gus Dur lahir dari keluarga karismatik, Ayahnya KH. Abdul Wahid yang selalu bergulat dalam gerakan nasionalis, adalah putra tokoh terkenal KH. Hasyim Asy?ari, pendiri pondok Tebu Ireng dan pendiri Nahdatul Ulama? (NU) , Organisai terbesar di Indonesia. Ibunya bernama Ny Hj. Solehah, juga putri tokoh besar Nahdotul Ulama? (NU), KH. Bisri syamsuri, pendiri pondok pesantren Denanyar Jombang dan ro?is Aam syuriah Pengurus Besar Nahdotul Ulama?(PBNU) setelah KH. Abdul Wahab Hasbullah.
KH. Abdul Wahid, ayah Gus Dur perrnah mejadi mentri agama RI pertama dan aktif dalam panitia Sembilan yang Merumuskan piagam Jakarta. Pada masa kecilnya, Abdurrahman Wahid tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama kakeknya dari pada tinggal dengan ayahnya. Berkat tinggal bersama kakeknya yang merupakan tokoh yang banyak di kunjungi tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting lainnya, maka sejak kecil Abdurrahman Wahid sudah mengenal tokoh-tokoh politik dan orang penting tersebut.
Ketika kecil, Gus Dur sering menunjukkan kenakalannya pada umunya kebanyakan anak seorang tokoh. Kadang-kadang ia di hukum dengan di ikat dengan tambang ketiang bendera di depan rumahnya karena perilakunya yang tidak sopan. Ketika belum genap berusia dua belas tahun, lenganya telah dua kali patah karena jatuh dari pohon.
Di waktu muda, Gus Dur sering dikirim oleh ayah handanya ke tempat Williem Iskandar Bueller, Orang Jerman yang tinggal di jakarta yang telah memeluk agama Islam. Bisanya Gus Dur datang kerumahnya selepas sekolah dan berada di sana sempai sore. Di tempat inilah Gus Dur belajar sastra dan bahasa asing dan mulai menyukai musik klasik, sastra, utamanya karya-karya Beethoven. Sejak pertama mendengarnya lewat gramofon Bueller hatinya langsung terpikat oleh musik itu.
Riwayat Pendidikan Abdurrahman Wahid Pertama kali belajar, Gus Dur belajar mengaji dan membaca al-Qur?an pada sang kakek, K. H. Hasyim Asy?ari. Pada tahun 1944, dalam usia 4 tahun, Gus Dur dibawa kejakarta oleh ayahnya yang mendapat mandat dari KH. Hasyim Asy?ari untuk mewakili beliau sebagai Ketua Jawatan agama dalam pemerintahan pendudukan Jepang.
Meskipun ayahnya seorang mentri dan tokoh terkenal, Gus Dur tidak sekolah di lembaga pendidikan elit yang bisa di masuki oleh anak pejabat di Jakarta, tidak juga bersekolah di sekolah pendidikan agama, Gus Dur bersama ke enam adiknya masuk pada Sekolah Rakyat ( SR) sebuah sekolah bentukan pemerintah hindia belanda untuk anak pribumi atau SDKRIS yang terletak di jalan samratulangi sekarang. Ketika mereka pindah rumah dari Jl jawa (Jl. Cokroaminoto) ke taman matraman, ia dan adik-adiknya pindah ke sekolah SD Perwari yang tempatnya tidak jauh dari kediaman mereka, Hanya aisyah, anak nomor dua yangtetap melanjudkan di SD KRIS hingga lulus.8 Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di tanah abang. Selanjudnya ia pindah ke Yogyakarta dan tinggal di rumah tokoh muhamadiyah, KH. Junaid, anggota Majlis Tarjih Munhammadiyah.
Selama belajar di SMEP, sambil berada di pesantren krapyak Yogyakarta. Meskipun sekolah ini dikelola gereja katolik dan sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Abdurrahman Wahid bertemu dengan seorang guru bahasa ingris bernama rufi?ah melalui guru ini, Abdurrahman Wahid belajar bahasa asing, dan banyak berkenalan dengan buku- buku karya-karya tokoh besar dalam bahasa ingris, seperti karya Ernest Hemingway, John Stein, Y. Gasset, Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov, Wiill (‘The Story of Civilazation) ia juga aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice Of Amirica dan BBC London. Pada saat yang sama, anak remaja ini telah mengenal Das Capital, karya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan Romantisme Revolusioner, karangan lenin Vladimir Ilyeh (1870-1924) tokoh revolu-sioner rusia dan pendiri Uni soviet. Sejauh itu ia selalu menyampaikan laporan hasil bacaannya kepada guru bahasa ingrisnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan di SMEP, Abdurrahman Wahid banyak menghabiskan waktunya untuk belajar di berbagai pesantren di Jawa yang berada di naungan nahdlotul ulama?. Pada mulanya beliau mondok di tegal rejo magelang (1957-1959). Selama di pesantren ini, Abdurrahman Wahid menunjukkan bakat dan kemampuan dirinya di bidang ilmu ke Islam di bawah asuhan kiai khudari. Karena kesungguhan dan kemampuannya yang luar biasa, Abdurrahman Wahid hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk belajar di pesantren tersebut. Sedangkan santri lainnya pada umumnya menghabiskan waktunya bertahun. Selain belajar ilmu ke Islaman di pesantren ini, Abdurrahman Wahid banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku karangan serjana barat. Kemampuan Abdurrahman Wahid membaca buku-buku barat jarang di miliki oleh para santri pada umumnya. Melalui belajar secara otodidak ini yang di mulai sejak usia dini, menyebabkan Abdurrahman Wahid sudah mengenal karya- karya sastra tingkat dunia, pemikiran filsafat karangan tokoh-tokoh terkemuka seperti Karl Marx, lenin, Gramsci, Mao Zedongn, serta karya-karya pemikir Islam yang berhaluan radikal, dan kekiri-kirian seperti Hasan Hanafi.
Selain itu, dari tahun 1959-1963, Abdurrahman Wahid menimba ilmu di muallimat Bahrul ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur. Setelah ia mondok di krapyak, Yogyakarta, dan tinggal di rumah seorang tokoh NU terkemuka, KH. Ali Maksum. Selanjudnya pada tahun 1964, ia berangkat ke mesir untuk menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, kairo, hingga tahun 1966. Selama belajar di mesir, Abdurrahman Wahid banyak menggunakan waktunya untuk menunton film-film terbaik perancis, ingris dan amerika, serta membaca buku di perpustakaan universitas Al-Azhar, kairo. Hal ini ia lakukan, karena ia merasa kecewa dengan system pengajaran di Al- Azhar, yang di nilainya sudah usang.
Karena merasa tidak puas dengan sistem pengajaran di Al-azhar, maka pada tahun 1966-1970 ia meninggalkan kairo untuk melanjutkan studinya di fakultas seni Universitas Banghdat. Selama belajar di Universitas Banghdat inilah, Abdurrahman Wahid merasa puas dan telah menemukan apa yang sesuai dengan dengan panggilan jiwanya yang modernis. Perkuliahan di universitas Baghdad ini ia tempuh dengan menyelesaikan ujian strata 2 (S2). Namun sebelum ia munempuh ujian tesisnya, profresor pembimbingnya meninggal dunia, sehingga ujian tesisnya itu tidak dapat dilanjutkan.
Di Universitas Baghdad inilah ia mengenal karya-karya tokoh terkenal seperti Emil Durkheim, bahkan selama di Universitas Baghdad inilah, ia menemukan informasi sejarah lengkap tentang Indonesia. Selain itu, ia berkesempatan membaca karya-karya sastra dan budaya arab serta filsafat dan pemikiran sosial eropa.
Melalui berbagai karya ilmiah dalam berbagai bidang ilmu agama dan ilmu modern, Abdurrahman Wahid mulai tampil sebagai seorang muslim yang modernis. Ia sudah mulai mengajukan gagasan tentang perlunya penafsiran kembali ajaran Islam, serta mengubah pendidikan dan pengajaran Islam yang sesuai dengan tantangan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selama belajar di timur tengah ini, ia sempat menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah yang berlangsung pada tahun 1967-1970. Setelah selesai menempuh pendidikan di timur tengah, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikan doktornya di Eropa. Namun karena terhambat oleh kendala bahasa Eropa, pendidikan doktornya ini tidak dapat dilanjutkan. Akhirnya kesempatan tersebut ia pergunakan untuk keliling Eropa sambil belajar bahasa Prancis, Jerman dan Inggris.
Sekembalinya ke Indonesia, Abdurrahman Wahid kembali ke pesantren tebu ireng Jombang. Karena kemampuannya dalam bidang ilmu agama Islam dan ilmu pengetahuan umum lainnya, Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum „cendekiawan? muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. pada tahun 1972-1974, ia diangkat menjadi dosen dan sekaligus menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy?ari, Jombang. Selanjutnya pada tahun 1974 hingga 1980, ia juga diberi amanat oleh pamannya, K.H Yusuf Hasyim, untuk menjadi sekretaris umum pesantren Tebu Ireng, Jombang.
Dalam waktu yang bersamaan dengan jabatannya di pesantren tersebut, pada tahun 1979 dan seterusnya, ia juga sudah mulai melibatkan diri secara aktif dalam kepengurusan Nahdatul Ulama dengan jabatan sebagai Katib Awal Syuriah Pengurus Besar Nahdatul Ulama. Kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid adalah bertindak sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, mulai tahun 1979 sampai dengan sekolah, pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, tahun 1996 dan sebagai Anggota Dewan Kehormatan Universitas Saddam Husein, Baghdad, dan selanjutnya sebagai Manggala Badan Pembina Pelaksana Pendidikan Pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (BP7).
Di samping itu Abdurrahman Wahid juga pernah menjabat Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Mesir, dari tahun 1964-1970, Konsultan Departemen Koperasi, Departemen Agama dan departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam) pada tahun 1976, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) tahun 1984-1999, Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Fraksi Karya Pembangunan tahun 1987-1992, Anngota dewan Internasional Perez Center for Peace (PCP) atau Institut Shimon Perez untuk perdamaian di Tel Aviv Israil sebagai Presiden World Coerence f Relegion and Peace (WCRP0 sejak tahu 1994-1999, Anngota Komisi Agama-Agama Ibrahim di Madrid Spanyol, deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Cinganjur, Jakarta, 1998 bersama K.H Ilyas Ruhiyat, K.H Muhith Muzadi, dan K.H munasir Ali dan K.H Mustofa Bisri, Anggota MPR Utusan Golongan tahun 1999, dan sebagai Presiden Republik Indonesia 1999-2001.
Dengan membaca biografi hidupnya disebut diatas, tampak kesulitan bagi kita untuk memberikan predikaat yang tepat bagi Abdurrahman Wahid. Ada yang berpendapat bahwa Abdurrahman Wahid adalah Tokoh yang besar bertaraf Internasional dan memiliki banyak kemampuan. Keahlian dalam bidang ilmu agama Islam betaraf ulama besar, Kyai, bahkan Wali dan juga terdapat keahlian dalam ilmu pengetahuan umum dan pendidikan modern yang luas. Gabungan dan kombinasi dari kemampuan tersebut menyebabkan beliau banyak memiliki kesempatan mengekspresikan dalam berbagai aktivitas. Sehubungan itu, peneliti terkenal dari Amerika, John Esposito bahwa berpendapat sosok Abdurrahman Wahid adalah pribadi yang mempunyai banyak teka-teki. Dia bukan Trdisional Konserfatif sebagaimana halnya tokoh-tokoh NU di pedesaan dan juga bukan Moderenis Islam. Dia lebih tepat disebut sebagai seorang tokoh liberal. Dan sebagai pemimpin organisasi Islam yang berbasis Tradisional. Karena itu, Esposoto memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai tokoh kunci gerakan Islam Kontenporer.
Abdrrahman Wahid sebagai ilmuan, budayawa, agamwan, yang banyak memahami pemikiran modern dari barat yang sekuler dan liberal, ternyata ia sangat taat kepada nasihat para kyai sepuh, menziarohi tempat tempat dan orang-orang yang dianggapnya tepat memberikan dukungan spiritual dan lain sebagainya, namun demikian dalam waktu yang bersamaan ia juga tidak dapat dikatakan trdisional konserfatif. Karena tekadang ia melontarkan gagasan dan pemikiran yang selamanya tidak selalu sejalan dengan pendapat kebanyakan dari kalang ulmam nasional yang berpegang teguh dalam kitab-kitab rujukan dari imam mahzab yang empat (Hanafi, maliki, Syafi?I dan Hambali). Keunikannya itu terletak pada sikapnya yang terkadang begitu kuat pada ulama sepuh dan hal-hal lain yang berada diluar koridor dan pardikma sikap-sikap sebagai seorang modern lebih tepatnya beliau pantas dikatakan tokoh Islam yang unik dan kontroversial.
Melihat peran, kontribusi dan keberanian, kejeniusan serta pengaruhya yang demikian besar, menyebabkan Gus Dur menjadi salah satu tokoh yang di segani baik pada tingkat nasional maupun internasional. Ia begitu amat di kenal oleh seluruh bangsa Indonisia, bahkan bangsa- bangsa lainnya di dunia. Keterkenalanya di sebabkan keberaniannya mengemukakan gagasan dan pemikiran yang kontroversi dengan segala akibatnya.
Gambaran di atas belum cukup menjelaskan sosok Gus Dur yang sesungguhnya. ia adalah peribadi yang unik dan sulit di tebak, sihingga dalam beberapa segi ia merupakan tokoh yang mengemukakan gagasan dan pemikiran yang sulit di mengerti oleh kebanyakan orang. Hal ini pada tahap selanjutnya membawa pada timbulnya kesimpulan bahwa Gus Dur adalah seorang wali. Sebagai seorang wali, Gus Dur memiliki pandangan dan gagasan yang tidak mudah dipahami oleh kebanyakan orang. Untuk itu muncul ungkapan yang mengatakan : “ seorang wali tidak akan di ketahui kecuali oleh seorang wali juga”
Predikat wali Bagi Gus Dur tampaknya di dasar kan pada sikap ultra-tradisionalnya sebagai mana di sebut di atas. Di atas di sebutkan bahwa sungguh pun sebagai seorang yang rasional dan libralis, tapi juga sebagai orang yang tradisionalis. Hal ini terlihat pada kebiasaanya meminta petunjuk dan doa dari ulama? sepuh, mengunjungi makam-makam leluhur yang di yakini mengandung berokah.9
Karya-karya Abdurrahman Wahid Abdurrahman Wahid adalah tokoh politik, agawamawan, negarawan, dan guru bangsa, banyak pemikirannya yang telah dicurahkan melalui karya-karyanya ilmiyah memberikan kotribusi kepada bangsa ini, baik dalam bentuk tulisan artikel yang dimuat diberbagai media masa maupun sejumlah buku yang telah diterbitkannya. Oleh sebab itu, Abdurrahman Wahid tergolong penulis produktif, khususnya tentang dunia pesantren.
Hal ini terlihat dari sejumlah tulisan Poker Online yang memiliki visi dan bobot yang tidak kalah dengan visi dan bobot tulisan yang di kemukakan para tokoh akademi non politik. Di antara karya tulisannya itu adalah sebagai berikut.
Abdurrahamn Wahid, Gus Dur Bertutur ( Jakarta : harian proaksi dan Gus Dur fodation,2001); Abdurrahman Wahid." Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan" Dalam Sonhaji Shaleh (terj); Dinamika Pesantren, Kumpulan Makalah Seminar Internasional, The Role of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia” (Jakarta : P3M, 1988) Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta : LKIS Yogyakarta, 2001); Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia dan Tranformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institut, 2007); Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita; Agama masyarakat negara demograsi”( Jakarta: The Wahid Institut, 2006); Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: Darma Bhakti, 1994)
KH. Abdul Wahid, ayah Gus Dur perrnah mejadi mentri agama RI pertama dan aktif dalam panitia Sembilan yang Merumuskan piagam Jakarta. Pada masa kecilnya, Abdurrahman Wahid tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama kakeknya dari pada tinggal dengan ayahnya. Berkat tinggal bersama kakeknya yang merupakan tokoh yang banyak di kunjungi tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting lainnya, maka sejak kecil Abdurrahman Wahid sudah mengenal tokoh-tokoh politik dan orang penting tersebut.
Ketika kecil, Gus Dur sering menunjukkan kenakalannya pada umunya kebanyakan anak seorang tokoh. Kadang-kadang ia di hukum dengan di ikat dengan tambang ketiang bendera di depan rumahnya karena perilakunya yang tidak sopan. Ketika belum genap berusia dua belas tahun, lenganya telah dua kali patah karena jatuh dari pohon.
Di waktu muda, Gus Dur sering dikirim oleh ayah handanya ke tempat Williem Iskandar Bueller, Orang Jerman yang tinggal di jakarta yang telah memeluk agama Islam. Bisanya Gus Dur datang kerumahnya selepas sekolah dan berada di sana sempai sore. Di tempat inilah Gus Dur belajar sastra dan bahasa asing dan mulai menyukai musik klasik, sastra, utamanya karya-karya Beethoven. Sejak pertama mendengarnya lewat gramofon Bueller hatinya langsung terpikat oleh musik itu.
Riwayat Pendidikan Abdurrahman Wahid Pertama kali belajar, Gus Dur belajar mengaji dan membaca al-Qur?an pada sang kakek, K. H. Hasyim Asy?ari. Pada tahun 1944, dalam usia 4 tahun, Gus Dur dibawa kejakarta oleh ayahnya yang mendapat mandat dari KH. Hasyim Asy?ari untuk mewakili beliau sebagai Ketua Jawatan agama dalam pemerintahan pendudukan Jepang.
Meskipun ayahnya seorang mentri dan tokoh terkenal, Gus Dur tidak sekolah di lembaga pendidikan elit yang bisa di masuki oleh anak pejabat di Jakarta, tidak juga bersekolah di sekolah pendidikan agama, Gus Dur bersama ke enam adiknya masuk pada Sekolah Rakyat ( SR) sebuah sekolah bentukan pemerintah hindia belanda untuk anak pribumi atau SDKRIS yang terletak di jalan samratulangi sekarang. Ketika mereka pindah rumah dari Jl jawa (Jl. Cokroaminoto) ke taman matraman, ia dan adik-adiknya pindah ke sekolah SD Perwari yang tempatnya tidak jauh dari kediaman mereka, Hanya aisyah, anak nomor dua yangtetap melanjudkan di SD KRIS hingga lulus.8 Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di tanah abang. Selanjudnya ia pindah ke Yogyakarta dan tinggal di rumah tokoh muhamadiyah, KH. Junaid, anggota Majlis Tarjih Munhammadiyah.
Selama belajar di SMEP, sambil berada di pesantren krapyak Yogyakarta. Meskipun sekolah ini dikelola gereja katolik dan sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Abdurrahman Wahid bertemu dengan seorang guru bahasa ingris bernama rufi?ah melalui guru ini, Abdurrahman Wahid belajar bahasa asing, dan banyak berkenalan dengan buku- buku karya-karya tokoh besar dalam bahasa ingris, seperti karya Ernest Hemingway, John Stein, Y. Gasset, Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov, Wiill (‘The Story of Civilazation) ia juga aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice Of Amirica dan BBC London. Pada saat yang sama, anak remaja ini telah mengenal Das Capital, karya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan Romantisme Revolusioner, karangan lenin Vladimir Ilyeh (1870-1924) tokoh revolu-sioner rusia dan pendiri Uni soviet. Sejauh itu ia selalu menyampaikan laporan hasil bacaannya kepada guru bahasa ingrisnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan di SMEP, Abdurrahman Wahid banyak menghabiskan waktunya untuk belajar di berbagai pesantren di Jawa yang berada di naungan nahdlotul ulama?. Pada mulanya beliau mondok di tegal rejo magelang (1957-1959). Selama di pesantren ini, Abdurrahman Wahid menunjukkan bakat dan kemampuan dirinya di bidang ilmu ke Islam di bawah asuhan kiai khudari. Karena kesungguhan dan kemampuannya yang luar biasa, Abdurrahman Wahid hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk belajar di pesantren tersebut. Sedangkan santri lainnya pada umumnya menghabiskan waktunya bertahun. Selain belajar ilmu ke Islaman di pesantren ini, Abdurrahman Wahid banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku karangan serjana barat. Kemampuan Abdurrahman Wahid membaca buku-buku barat jarang di miliki oleh para santri pada umumnya. Melalui belajar secara otodidak ini yang di mulai sejak usia dini, menyebabkan Abdurrahman Wahid sudah mengenal karya- karya sastra tingkat dunia, pemikiran filsafat karangan tokoh-tokoh terkemuka seperti Karl Marx, lenin, Gramsci, Mao Zedongn, serta karya-karya pemikir Islam yang berhaluan radikal, dan kekiri-kirian seperti Hasan Hanafi.
Selain itu, dari tahun 1959-1963, Abdurrahman Wahid menimba ilmu di muallimat Bahrul ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur. Setelah ia mondok di krapyak, Yogyakarta, dan tinggal di rumah seorang tokoh NU terkemuka, KH. Ali Maksum. Selanjudnya pada tahun 1964, ia berangkat ke mesir untuk menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, kairo, hingga tahun 1966. Selama belajar di mesir, Abdurrahman Wahid banyak menggunakan waktunya untuk menunton film-film terbaik perancis, ingris dan amerika, serta membaca buku di perpustakaan universitas Al-Azhar, kairo. Hal ini ia lakukan, karena ia merasa kecewa dengan system pengajaran di Al- Azhar, yang di nilainya sudah usang.
Karena merasa tidak puas dengan sistem pengajaran di Al-azhar, maka pada tahun 1966-1970 ia meninggalkan kairo untuk melanjutkan studinya di fakultas seni Universitas Banghdat. Selama belajar di Universitas Banghdat inilah, Abdurrahman Wahid merasa puas dan telah menemukan apa yang sesuai dengan dengan panggilan jiwanya yang modernis. Perkuliahan di universitas Baghdad ini ia tempuh dengan menyelesaikan ujian strata 2 (S2). Namun sebelum ia munempuh ujian tesisnya, profresor pembimbingnya meninggal dunia, sehingga ujian tesisnya itu tidak dapat dilanjutkan.
Di Universitas Baghdad inilah ia mengenal karya-karya tokoh terkenal seperti Emil Durkheim, bahkan selama di Universitas Baghdad inilah, ia menemukan informasi sejarah lengkap tentang Indonesia. Selain itu, ia berkesempatan membaca karya-karya sastra dan budaya arab serta filsafat dan pemikiran sosial eropa.
Melalui berbagai karya ilmiah dalam berbagai bidang ilmu agama dan ilmu modern, Abdurrahman Wahid mulai tampil sebagai seorang muslim yang modernis. Ia sudah mulai mengajukan gagasan tentang perlunya penafsiran kembali ajaran Islam, serta mengubah pendidikan dan pengajaran Islam yang sesuai dengan tantangan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selama belajar di timur tengah ini, ia sempat menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah yang berlangsung pada tahun 1967-1970. Setelah selesai menempuh pendidikan di timur tengah, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikan doktornya di Eropa. Namun karena terhambat oleh kendala bahasa Eropa, pendidikan doktornya ini tidak dapat dilanjutkan. Akhirnya kesempatan tersebut ia pergunakan untuk keliling Eropa sambil belajar bahasa Prancis, Jerman dan Inggris.
Sekembalinya ke Indonesia, Abdurrahman Wahid kembali ke pesantren tebu ireng Jombang. Karena kemampuannya dalam bidang ilmu agama Islam dan ilmu pengetahuan umum lainnya, Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum „cendekiawan? muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. pada tahun 1972-1974, ia diangkat menjadi dosen dan sekaligus menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy?ari, Jombang. Selanjutnya pada tahun 1974 hingga 1980, ia juga diberi amanat oleh pamannya, K.H Yusuf Hasyim, untuk menjadi sekretaris umum pesantren Tebu Ireng, Jombang.
Dalam waktu yang bersamaan dengan jabatannya di pesantren tersebut, pada tahun 1979 dan seterusnya, ia juga sudah mulai melibatkan diri secara aktif dalam kepengurusan Nahdatul Ulama dengan jabatan sebagai Katib Awal Syuriah Pengurus Besar Nahdatul Ulama. Kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Abdurrahman Wahid adalah bertindak sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, mulai tahun 1979 sampai dengan sekolah, pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, tahun 1996 dan sebagai Anggota Dewan Kehormatan Universitas Saddam Husein, Baghdad, dan selanjutnya sebagai Manggala Badan Pembina Pelaksana Pendidikan Pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (BP7).
Di samping itu Abdurrahman Wahid juga pernah menjabat Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Mesir, dari tahun 1964-1970, Konsultan Departemen Koperasi, Departemen Agama dan departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam) pada tahun 1976, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) tahun 1984-1999, Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Fraksi Karya Pembangunan tahun 1987-1992, Anngota dewan Internasional Perez Center for Peace (PCP) atau Institut Shimon Perez untuk perdamaian di Tel Aviv Israil sebagai Presiden World Coerence f Relegion and Peace (WCRP0 sejak tahu 1994-1999, Anngota Komisi Agama-Agama Ibrahim di Madrid Spanyol, deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Cinganjur, Jakarta, 1998 bersama K.H Ilyas Ruhiyat, K.H Muhith Muzadi, dan K.H munasir Ali dan K.H Mustofa Bisri, Anggota MPR Utusan Golongan tahun 1999, dan sebagai Presiden Republik Indonesia 1999-2001.
Dengan membaca biografi hidupnya disebut diatas, tampak kesulitan bagi kita untuk memberikan predikaat yang tepat bagi Abdurrahman Wahid. Ada yang berpendapat bahwa Abdurrahman Wahid adalah Tokoh yang besar bertaraf Internasional dan memiliki banyak kemampuan. Keahlian dalam bidang ilmu agama Islam betaraf ulama besar, Kyai, bahkan Wali dan juga terdapat keahlian dalam ilmu pengetahuan umum dan pendidikan modern yang luas. Gabungan dan kombinasi dari kemampuan tersebut menyebabkan beliau banyak memiliki kesempatan mengekspresikan dalam berbagai aktivitas. Sehubungan itu, peneliti terkenal dari Amerika, John Esposito bahwa berpendapat sosok Abdurrahman Wahid adalah pribadi yang mempunyai banyak teka-teki. Dia bukan Trdisional Konserfatif sebagaimana halnya tokoh-tokoh NU di pedesaan dan juga bukan Moderenis Islam. Dia lebih tepat disebut sebagai seorang tokoh liberal. Dan sebagai pemimpin organisasi Islam yang berbasis Tradisional. Karena itu, Esposoto memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai tokoh kunci gerakan Islam Kontenporer.
Abdrrahman Wahid sebagai ilmuan, budayawa, agamwan, yang banyak memahami pemikiran modern dari barat yang sekuler dan liberal, ternyata ia sangat taat kepada nasihat para kyai sepuh, menziarohi tempat tempat dan orang-orang yang dianggapnya tepat memberikan dukungan spiritual dan lain sebagainya, namun demikian dalam waktu yang bersamaan ia juga tidak dapat dikatakan trdisional konserfatif. Karena tekadang ia melontarkan gagasan dan pemikiran yang selamanya tidak selalu sejalan dengan pendapat kebanyakan dari kalang ulmam nasional yang berpegang teguh dalam kitab-kitab rujukan dari imam mahzab yang empat (Hanafi, maliki, Syafi?I dan Hambali). Keunikannya itu terletak pada sikapnya yang terkadang begitu kuat pada ulama sepuh dan hal-hal lain yang berada diluar koridor dan pardikma sikap-sikap sebagai seorang modern lebih tepatnya beliau pantas dikatakan tokoh Islam yang unik dan kontroversial.
Melihat peran, kontribusi dan keberanian, kejeniusan serta pengaruhya yang demikian besar, menyebabkan Gus Dur menjadi salah satu tokoh yang di segani baik pada tingkat nasional maupun internasional. Ia begitu amat di kenal oleh seluruh bangsa Indonisia, bahkan bangsa- bangsa lainnya di dunia. Keterkenalanya di sebabkan keberaniannya mengemukakan gagasan dan pemikiran yang kontroversi dengan segala akibatnya.
Gambaran di atas belum cukup menjelaskan sosok Gus Dur yang sesungguhnya. ia adalah peribadi yang unik dan sulit di tebak, sihingga dalam beberapa segi ia merupakan tokoh yang mengemukakan gagasan dan pemikiran yang sulit di mengerti oleh kebanyakan orang. Hal ini pada tahap selanjutnya membawa pada timbulnya kesimpulan bahwa Gus Dur adalah seorang wali. Sebagai seorang wali, Gus Dur memiliki pandangan dan gagasan yang tidak mudah dipahami oleh kebanyakan orang. Untuk itu muncul ungkapan yang mengatakan : “ seorang wali tidak akan di ketahui kecuali oleh seorang wali juga”
Predikat wali Bagi Gus Dur tampaknya di dasar kan pada sikap ultra-tradisionalnya sebagai mana di sebut di atas. Di atas di sebutkan bahwa sungguh pun sebagai seorang yang rasional dan libralis, tapi juga sebagai orang yang tradisionalis. Hal ini terlihat pada kebiasaanya meminta petunjuk dan doa dari ulama? sepuh, mengunjungi makam-makam leluhur yang di yakini mengandung berokah.9
Karya-karya Abdurrahman Wahid Abdurrahman Wahid adalah tokoh politik, agawamawan, negarawan, dan guru bangsa, banyak pemikirannya yang telah dicurahkan melalui karya-karyanya ilmiyah memberikan kotribusi kepada bangsa ini, baik dalam bentuk tulisan artikel yang dimuat diberbagai media masa maupun sejumlah buku yang telah diterbitkannya. Oleh sebab itu, Abdurrahman Wahid tergolong penulis produktif, khususnya tentang dunia pesantren.
Hal ini terlihat dari sejumlah tulisan Poker Online yang memiliki visi dan bobot yang tidak kalah dengan visi dan bobot tulisan yang di kemukakan para tokoh akademi non politik. Di antara karya tulisannya itu adalah sebagai berikut.
Abdurrahamn Wahid, Gus Dur Bertutur ( Jakarta : harian proaksi dan Gus Dur fodation,2001); Abdurrahman Wahid." Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan" Dalam Sonhaji Shaleh (terj); Dinamika Pesantren, Kumpulan Makalah Seminar Internasional, The Role of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia” (Jakarta : P3M, 1988) Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta : LKIS Yogyakarta, 2001); Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia dan Tranformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institut, 2007); Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita; Agama masyarakat negara demograsi”( Jakarta: The Wahid Institut, 2006); Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: Darma Bhakti, 1994)
0 komentar:
Posting Komentar